Sunday, October 08, 2006

munir

Titik-titik yang terombang-ambing.

(1) romo mangunwijaya di burung-burung manyar pernah bilang (kira-kira gini): manusia itu punya dua aspek. pertama citra, bagaimana ia terlihat, kedua jati diri, bagaimana
ia sesungguhnya (yang sering kali tidak terlihat).

(2)
di negeri ini, sinetron adalah tayangan televisi paling laris. tak peduli ceritanya tak masuk akal, atau penggarapannya yang dangkal, atau akting yang asal. yang penting jangan sampe ada espisode yang luput ditonton dari awal.

seorang pembantu pun bisa menangis sesegukan, berempati dengan "penderitaan" si tokoh yang ditontonnya, padahal dibanding derita dia yang jelas-jelas nyata, kesedihan buatan di layar kaca itu, ngga ada apa-apanya, pun seandainya itu nyata.

(3)
salah satu sifat terburuk seorang manusia (juga sebuah bangsa) adalah cepat melupakan sejarah. tapi lebih buruk lagi, mereka yang tidak bisa memformat masa depan. dan yang paling buruk adalah yang tak bisa dua-duanya. celakanya, itulah kita.

kita selalu gagal memenangkan ingatan dalam perang melawan lupa. sampai kemudian sejarah yang sama kelamnya kembali menerpa. jangankan priok, konon lagi setelah september '65, munir pun sudah beringsut perlahan dari beranda ingatan.

dan seperti kota yang dikepung kabut asap, kita juga tak bisa tahu apa yang menunggu di depan.

kitalah, bangsa yang terombang-ambing di sebuah titik.... terputus dari masa lalu, terpisah dari masa depan.


..............................................................................

di negeri seperti inilah susilo bambang yudhoyono bertahta.

negeri yang mengutamakan citra, bukan jati diri.

negeri yang lebih bersimpati pada kesedihan kecil yang ditayangkan, daripada derita mahaberat yang terlupakan.

negeri yang cepat sekali lupa, dan tak pernah tau warna fajar esok pagi.

kita di sini kedinginan, sendiri, menunggu mati, untuk kemudian dikuburkan, dilupakan.