Wednesday, May 17, 2006

sepenting itukah hidup dipertahankan?


tubuhnya ringkih, berkerut. kulit dadanya tipis, naik turun, napas lalu lalang dengan susah bukan kepalang.

dia tidak pernah sepenuhnya ikhlas untuk perobatan ini. "aku sudah tua, 82 tahun. buat apa berobat, bakal mati juganya sebentar lagi. nanti duitmu habis," katanya waktu kutawari menginap di RS, tempat yang paling dibencinya setelah kantor polisi.

betul juga dia mungkin. sepenting itukah kehidupan dipertahankan? sampe-sampe jarum infus dan selang oksigen disambungkan ke tubuhnya. kok ngotot betul kita untuk tetap hidup?

apa sih yang kita dapet kalo ttp hidup? makan untuk kemudian lapar lagi, mandi untuk kemudian kotor lagi, mencintai untuk kehilangan, berjuang mati-matian, sebelum pada akhirnya menyerah... dan kata chairil anwar, selalu saja ada yang belum sempat terucapkan.

mereka yang bunuh diri, bisa jadi adalah mereka yang sungguh mengerti arti kehidupan, sesuatu yang tidak layak dijalani, sesuatu yang ngga ada signifikansinya terhadap apapun.

kalau pun pada akhirnya ayah mau juga kubujuk berobat, bukan karena dia ingin lebih lama hidup, tetapi "siapa tau, perihnya penyakitku ini bisa berkurang."

kemarin, ayah ngasih sebuah pelajaran di sela kepayahannya, "jangan minta umur yang panjang, nak, tapi umur yang bermanfaat. pahala itu adalah manfaat bagi orang lain, karena tuhan tak pernah butuh apa-apa".

doa seorang sahabatku mungkin paling tepat untukmu ayah, "semoga engkau diberikan ketenangan, entah menuju kesembuhan, pun ke jalan lain".